Rabu, 25 Mei 2016

Penundaan Kematangan Pisang Raja (Musa paradisiaca var. sapientum l.) Melalui Penggunaan Media Penyerap Etilen (Kalium Permanganat)



BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pisang merupakan salah satu buah unggulan Indonesia. Data Departeman Pertanian tahun 2006 menunjukkan bahwa produksi buah pisang mencapai 5.03 juta ton, dan volume ekspor mencapai 1.50 juta ton. Pisang (Musa paradisiaca) telah ditetapkan menjadi salah satu komoditas buah unggulan nasional disamping manggis, mangga, jeruk dan durian. Selain sebagai komoditas unggulan, pisang juga merupakan jenis buah yang memberikan konstribusi paling besar terhadap produksi buah-buahan nasional. Salah satu jenis pisang yang mempunyai peluang ekspor adalah pisang raja. Selain mempunyai nilai ekonomis tinggi, pisang raja mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi yaitu setiap 100 gram mengandung 950 vitamin A, 10 gram vitamin C, dan 31,80 gram karbohidrat (Anonim, 2007).
Pada tahun 1990-1997 pisang merupakan produk ekspor buah Indonesia. Tujuan ekspor buah pisang Indonesia antara lain Jepang, Hongkong, Singapura, dan Saudi Arabia. Jumlah ekspor pisang yang rendah disebabkan oleh mutu buah yang tidak memenuhi standar mutu pisang dunia. Terdapat dua parameter yang dijadikan standarisasi ekspor pisang, yaitu spesifikasi dan mutu buah (Pantastico, 1986). Riskomar (2005) menyatakan, pada bulan Januari tahun 2005, ekspor beberapa buah ditolak masuk wilayah Eropa. Komoditi yang ditolak tersebut antara lain manggis, mangga, nanas dan pisang. Alasan penolakan tersebut karena produk yang berasal dari Indonesia belum memenuhi standar EUREPGAP (Euro Retailer Produce Working Group and Good Agriculture Practice). Walaupun nilai ekspor ke wilayah Eropa tidak besar (sekitar 15 % dari seluruh total ekspor), penolakan seperti ini dikhawatirkan akan menyebabkan pasar Indonesia ditempati oleh negara lain. Parameter mutu pisang secara umum adalah bentuk yang sempurna, kematangan yang seragam, warna kulit buah yang cerah, mulus, kesagaran alami, daging buah tidak lembek, dan aroma serta rasa yang enak.
Salah satu cara untuk meningkatkan nilai buah lokal dengan cara penanganan pasca panen yang tepat. Selama ini, perhatian petani sangat kurang terhadap pentingnya penanganan pasca panen. Kehilangan hasil pasca panen dapat mencapai 20 – 30 %. Kehilangan yang tinggi ini juga disebabkan oleh letak sentra produksi yang berskala kecil dan tersebar serta terbatasnya sarana pendukung seperti peralatan pasca panen dan jalan yang rusak. Oleh karena itu, petani cenderung menyerahkan kegiatan pasca panen kepada para tengkulak.
Buah pisang merupakan jaringan hidup yang tetap melakukan perubahan fisiologi setelah panen. Buah tetap meneruskan reaksi-reaksi metabolisme seperti pada saat masih melekat pada tanaman dengan cara mengunakan cadangan makanan. Kehilangan cadangan makanan tersebut dapat menyebabkan penurunan mutu.
Penanganan pasca panen yang tepat seharusnya dimulai dari pemetikan sampai buah berada di tangan konsumen akhir. Penanganan pasca panen dilakukan agar buah pisang tetap segar sampai ditangan konsumen. Buah pisang termasuk buah klimakterik, yang ditunjukkan dengan kenaikan produksi CO2 dan etilen pada saat penuaan.
Pematangan buah pisang terjadi dalam tiga tahap, yaitu tahap praklimakterik, tahap klimakterik, dan tahap senesence atau buah telah lewat matang. Tahap praklimakterik adalah tahap dimana buah masih dalam keadaan bebas etilen. Berakhirnya tahap praklimakterik berarti dimulainya tahap klimakterik. Secara fisiologi, tahap klimakterik terlihat dengan meningkatnya respirasi dan produksi etilen. Tahap ketiga yaitu tahap senesence, dimana pada tahap ini metabolisme dan kualitas buah telah menurun (John and Marchal, 1995).
Perlakuan pasca panen pisang dapat dilakukan dengan cara menekan laju respirasi sehingga umur simpan dapat maksimal. Salah satu cara yang disarankan adalah penggunaan bahan kimia KMnO4 (Kalium Permanganat) untuk menangkap gas etilen Sholihati (2004).
Kontak langsung antara KMnO4 dengan produk tidak dianjurkan, karena bentuk KMnO4 yang cair. Diperlukan bahan penyerap KMnO4 agar dapat digunakan sebagai penyerap etilen. Bahan yang dapat digunakan sebagai bahan penyerap KMnO4 antara lain zeolit, arang aktif, batu apung, oasis, dan serutan gergaji kayu.



















BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pisang Raja Bulu
Pisang termasuk tanaman monocotyledoneae (berkeping satu) dan masuk pada famili Musaseae, ordo Zingiberales. Famili ini memiliki dua genus Musa dan Entese. Semua kultivar yang dapat dimakan dikelompokkan ke dalam genus Musa. Sedangkan yang dimanfaatkan sebagai bahan penghasil serat, tepung, dan sebagai sayuran yang dimasak dikelompokkan ke dalam genus Entese. Berdasarkan golongan yang dapat dimakan, pisang dibagi menjadi dua jenis. Jenis pisang yang pertama adalah pisang yang dimakan buahnya tanpa dimasak (banana) sering juga disebut sebagai buah meja, terdiri dari Musa paradisiaca var. Sapientum, dan Musa nana atau Musa cavendis, atau disebut juga Musa sinensis. Contoh dari jenis pisang ini adalah pisang ambon, susu, raja, cavendish, barangan dan mas. Jenis pisang yang kedua adalah pisang yang dimakan setelah buahnya dimasak (plantain) yaitu Musa paradisiaca forma typica atau disebut juga Musa paradisiaca normalis. Contohnya pisang nangka, tanduk dan kepok (Samson, 1980).
Pisang raja bulu merupakan pisang yang dapat langsung dimakan tanpa dimasak. Tetapi sering juga dimasak sebagai kolak atau pengisi kue. Buah pisang tersusun dalam bentuk sisir atau tangan pada suatu batang yang secara kolektif disebut tandan. Pisang raja bulu merupakan salah satu jenis pisang raja yang ukurannya sedang dan gemuk. Bentuk buahnya melengkung dengan pangkal buah agak bulat. Warna kulit buah kuning berbintik-bintik coklat, warna daging putih kemerahan dan sangat manis, berstruktur lunak dan tidak berbiji. Panjang buah antara 12 – 18 cm dengan bobot rata-rata 110 – 120 g. Setiap pohon biasanya dapat menghasilkan rata-rata 90 buah. Bobot rata-rata tandan sekitar 7 - 10 kg, berisi sekitar  6 - 7 sisir (Satuhu dan Supriyadi, 2000). Pembentukan buah meliputi tiga tahap fisiologi setelah tahap inisiasi, yaitu pertumbuhan, pendewasaan, dan pematangan. Pertumbuhan berkaitan dengan pembelahan dan pembesaran sel sampai ukuran maksimal. Pendewasaan buah dimulai sebelum pertumbuhan berakhir sampai terjadi aktifitas fisiologi yang nyata. Pematangan terjadi pada akhir pendewasaan sampai buah mengalami senesence (kemunduran) dan akhirnya mengalami pembusukan (Wills,1989).
Buah pisang yang dimakan umumnya buah pertenokarpi, yaitu buah yang berkembang tanpa terjadinya penyerbukan. Daging buah yang dimakan berkembang dari dinding ovari. Pertumbuhan buah biasanya dimulai dari perbanyakan sel, hingga menjadi organ penimbun pangan yang membesar, karena zat-zat makanan bergerak dari bagian source ke bagian ini. Komposisi zat yang ditimbun tergantung pada jenis pisang. Umumnya, zat yang ditimbun berbentuk karbohidrat. Selama perkembangan terjadi perubahan komposisi zat tersebut, yaitu perubahan pati menjadi gula (Verheij, 1991).
Tanaman pisang umumnya dipanen pada umur 12 - 15 bulan atau 4 - 6 bulan setelah tanaman berbunga. Pemanenan buah pisang dilakukan sesuai tujuan yang ingin dicapai. Buah pisang yang akan dipasarkan di daerah yang berdekatan dengan daerah produksi umumnya dipanen pada stadia tua (dewasa) penuh. Sedangkan buah pisang yang akan dipasarkan di lokasi yang jauh dari pertanaman pisang umumnya dipanen pada stadia tingkat ketuaan (dewasa) buah tiga perempat penuh. Buah yang sudah mencapai stadia ketuaan (dewasa) penuh ditandai dengan bentuk lingir (bagian tepi buah) yang tidak kelihatan lagi dan buah kadang-kadang pecah. Umumnya dalam satu tandan terdapat 1 - 2 buah yang berwarna kuning. Sedangkan buah pada stadia tingkat ketuaan (dewasa) tiga perempat penuh ditandai dengan lingir buah yang masih terlihat jelas. Pemanenan dilakukan dengan memotong 1/2  -  1/3 bagian batang dengan tujuan batang menjadi rebah ke bawah dan tandan dapat dengan mudah dipanen. Dalam pemanenan diusahakan buah pisang tidak terluka atau memar. Pisang yang baru dipanen harus dilindungi dari penyinaran matahari secara langsung. Selanjutnya tandan disisir. Buah selanjutnya dicuci dan diberi perlakuan fungisida untuk mencegah buah terserang penyakit selama penyimpanan (Satuhu dan Supriyadi, 2000).

2.2 Fisiologi Pasca Panen
Komoditi hortikultura secara umum tetap mengalami metabolisme walaupun telah dipanen. Setelah dipanen, energi yang dibutuhkan untuk melakukan metabolisme diambil dari cadangan pangan dan air yang terdapat pada komoditi tersebut. Kehilangan ini menyebabkan kerusakan. Kerusakan ini umumnya berbanding lurus dengan laju respirasi (Santoso dan Purwoko, 1995). Respirasi dikelompokkan dalam tiga tingkatan, yaitu:
1). Pemecahan polisakarida menjadi gula sederhana,
2). Oksidasi gula menjadi asam piruvat,
3). Transportasi piruvat dan asam-asam organik secara aerobik menjadi
CO2, air dan  energi.
Protein dan lemak dapat pula berperan sebagai substrat dalam proses pemecahan polisakarida (Pantastico, 1986).
 Proses reaksi kimia sederhana dari respirasi dapat dinyatakan :
C6H12O6 + 6 O2                                              6 CO2 + 6H2O + 673 kcal
Laju respirasi merupakan petunjuk yang baik untuk daya simpan pasca panen. Intensitas respirasi dianggap sebagai ukuran laju jalannya metabolisme sehingga sering dianggap sebagai petunjuk mengenai daya simpan buah (Pantastico, 1986). Kecepatan respirasi yang tinggi berhubungan dengan umur simpan yang pendek.
Menurut Kader (1992), jenis buah menurut tingkat laju respirasi setelah dipetik dibagi menjadi dua, yaitu buah klimakterik dan buah non klimakterik. Buah klimakterik ditunjukkan dengan kenaikan produksi CO2 dan etilen yang besar pada saat penuaan. Sedangkan buah non klimakterik ditunjukkan dengan tidak adanya perubahan dari CO2 yang rendah dan produksi etilen saat penuaan. Contoh buah klimakterik yaitu apel, alpukat, pisang, mangga, pepaya, melon dan semangka, sedangkan buah non klimakterik contohnya anggur, jeruk dan nanas.          Selama proses pematangan, buah klimakterik menghasilkan lebih banyak etilen endogen dari pada buah nonklimakterik. Selama proses pematangan, terjadi berbagai perubahan baik secara fisik maupun secara kimia. Perubahan secara fisik antara lain adalah perubahan warna, perubahan tekstur, susut bobot, layu dan keriput yang menyebabkan turunnya mutu buah (Santoso dan Purwoko, 1995).
Perubahan warna merupakan petunjuk yang paling mudah bagi konsumen untuk memilih buah matang. Warna juga menjadi faktor utama daya tarik konsumen terhadap buah. Lizada (1990) menyatakan bahwa tahapan kematangan beberapa kultivar buah pisang di ASEAN berdasarkan pada derajat kekuningan warna kulit buah. Tanda pematangan pertama untuk kebanyakan buah adalah hilangnya warna hijau karena terdegradasinya klorofil. Pantastico (1986) menyatakan warna kuning kulit pisang disebabkan proses pecahnya klorofil oleh klorofilase sehingga kandungan klorofil menurun dengan lambat selama proses pematangan. Umumnya jumlah pigmen hijau tertentu tersisa pada buah pisang di dalam jaringan internal.
Wills (1989) menyatakan terdegradasinya pigmen klorofil menyebabkan warna dari pigmen-pigmen lain (anthosianin, xantofil dan karoten) muncul. Pantastico (1986) menyatakan kehilangan klorofil mengakibatkan pigmen karotenoid yang tidak bersintesis menjadi terlihat selama pematangan. Karotenoid yang ada dalam kulit pisang terdiri dari α- carotenoid dan β-caroten. Kandungan klorofil dalam buah pisang bervariasi tergantung pada kematangan sedangkan kandungan karotenoid tetap jumlahnya.
Kehilangan air oleh proses respirasi dan transpirasi pada buah berpengaruh secara kualitatif maupun kuantitatif pada umur simpan buah. Pengaruh secara kuantitatif yaitu susut bobot. Susut bobot buah semakin meningkat dengan bertambahnya waktu penyimpanan. Pengaruh secara kualitatif adalah penampilan buah yang menurun karena layu, perubahan tekstur buah yang menjadi lunak, hilangnya kerenyahan dan kandungan air (Kader, 1992).
Selama proses pertumbuhan dan perkembangan buah, bobot masing-masing buah terus bertambah. Bobot daging buah pada permulaan perkembangan buah sangat rendah dan semakin bertambah ketika matang, sedangkan bobot kulit buah sebaliknya. Proses transpirasi menyebabkan kadar air pada kulit buah lebih cepat berkurang sehingga mengakibatkan semakin turunnya bobot kulit buah pisang. Kandungan gula dalam daging buah selama pematangan meningkat dengan cepat sehingga tekanan osmotik meningkat dan daging buah menyerap air dari kulit, menyebabkan perubahan perbandingan daging buah dan kulitnya (Pantastico, 1986). Semakin matang buah, rasio daging dan kulitnya semakin tinggi, karena kulit buah semakin tua semakin tipis dan keriput.
Menurut Thompson and Burden (1995) perubahan tekstur (kelunakan) pada saat pematangan dihubungkan dengan dua atau tiga proses. Pertama proses penguraian pati menjadi gula, kedua pemecahan dinding sel yang diakibatkan perombakan protopektin yang larut air dan terakhir adalah perombakan selulosa. Perubahan senyawa-senyawa ini selama pematangan sangat berpengaruh terhadap kekerasan buah, yang menyebabkan buah menjadi lunak. Perubahan kimia yang terjadi selama proses pematangan antara lain menurunnya kandungan pati, meningkatnya kadar gula dan menurunnya kandungan asam organik. Pematangan biasanya meningkatkan jumlah gula sederhana yang memberi rasa manis, penurunan asam-asam organik yang mengurangi rasa asam dari senyawa fenolik yang mengurangi rasa sepat, serta kenaikan zat-zat atsiri yang memberi aroma khas pada buah. Kandungan gula pada daging buah pisang mentah sekitar 1 – 2 %, dan meningkat menjadi 15 – 20 % saat buah matang, sedangkan kandungan pati sebesar 20 % saat buah pisang mentah dan turun menjadi 1 – 2 % saat buah masak (Pantastico, 1986).
Asam-asam organik merupakan salah satu komponen utama penyusun sel yang mengalami perubahan selama pematangan buah. Umumnya kandungan asam organik menurun selama pematangan karena respirasi atau diubah menjadi gula. Taraf asam tertinggi pada buah pisang dicapai pada stadia matang penuh. Kandungan asam pada buah pisang sedikit menurun selama pematangan, dengan asam malat sabagai komponen utama dalam kandungan asam organik buah (Pantastico, 1986).

2.3 Umur Simpan Buah Pisang
Turner (1997) menyebutkan, biokimia dari pematangan buah pisang dipengaruhi oleh konsentrasi biosintesis etilen dan metabolisme karbohidrat perubahan warna, dinding sel, senyawa fenolik, asam, lemak dan juga senyawa volatil juga berubah selama pematangan. Berdasarkan sifat klimakeriknya, proses klimakteri dalam buah dapat dibagi dalam empat fase, yaitu :
1.      Fase praklimakterik (pre-climacteric) yaitu saat buah masih hijau dan keras serta   CO2 yang dibebaskan masih sedikit.
2.      Fase klimakterik meningkat (climacteric rise) yaitu terjadi peningkatan produksi CO2 secara cepat tetapi buah masih hijau.
3.      Fase puncak klimakterik (climacteric peak) yaitu produksi CO2 mencapai maksimum, terjadi perubahan warna kulit, pelunakan dan mulai menimbulkan aroma.
4.      Fase pasca klimakterik (post climacteric) yaitu produksi CO2 menurun, terjadi perubahan warna kulit yang menarik, buah menjadi lunak dan beraroma tajam.
Pada saat ini buah mencapai tingkat kematangan yang sempurna. John and Marchal (1995) menggunakan standar warna kematangan buah pisang untuk menentukan perubahan fase klimakterik. Tahap klimakterik dimulai ketika warna kulit buah memasuki skor 4 – 6. Jika skor warna sama dengan 7, maka buah pisang telah memasuki tahap senesence. Pada tahap ini, metabolisme dan kualitas buah telah menurun.
Buah pisang yang dipanen dan dikonsumsi dalam keadaan segar harus memenuhi kriteria kualitas. Konsumen biasanya memperhatikan nilai kualitas buah berdasarkan penampilan, tekstur (kekerasan dan kelembutan), rasa dan aroma, zat gizi (karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral) dan tingkat keamanan yaitu kandungan senyawa toksik dan mikroba (Kader, 1992).

Standar kematangan pisang John and Marchal (1995).
Menurut Nuhasanah (2006), umur simpan pisang raja bulu dari beberapa daerah relatif sama, yaitu 6 hari. Umur simpan dipengaruhi oleh kerusakan buah selama pengangkutan.

2.4 Usaha Memperpanjang Umur Simpan
Pematangan buah merupakan suatu variasi dari proses penuaan yang melibatkan konversi pati atau asam-asam organik menjadi gula, pelunakan dinding-dinding sel, atau perusakan membran sel yang berakibat pada hilangnya cairan sel sehingga jaringan mengering. Pada tiap-tiap kasus, pematangan buah dirangsang oleh gas etilen yang berdifusi ke dalam ruang-ruang antarsel buah (Abeles, 1973). Menurut Winarno dan Aman (1981) etilen adalah senyawa hidrokarbon tidak jenuh yang pada suhu kamar berbentuk gas. Etilen dapat dihasilkan oleh jaringan tanaman hidup pada waktu-waktu tertentu. Senyawa ini menyebabkan perubahan-perubahan penting dalam proses pertumbuhan dan pematangan hasil-hasil pertanian.
Etilen (C2H4) diproduksi dari methionin melalui jalur yang termasuk zat antara S-adenosyl-methionine (SAM) dan 1- amino –cyclopropane- 1 carboxylic acid (ACC). Pembentukan etilen dari ACC dipengaruhi oleh enzim EFE (Ethylene Forming Enzime). Etilen bekerja dengan cara menempel pada tempat mengikat (binding site), kemudian menstimulasi pembawa pesan kedua (second messenger) yang menginstruksikan DNA inti umtuk membuat mRNA yang spesifik untuk efek etilen. Molekul mRNA ditranslasikan menjadi protein oleh ribosoma. Protein yang terbentuk ialah enzim yang menyebabkan respon sebenarnya dari etilen (Kader, 1992). Etilen memegang peranan penting dalam fisiologi pasca panen produk hortikultura. Etilen akan menguntungkan ketika meningkatkan kualitas buah dan sayuran melalui percepatan dan penyeragaman pematangan sebelum dipasarkan, namun etilen memberikan efek yang merugikan dengan meningkatkan laju senesence. Etilen dapat menghilangkan warna hijau pada buah mentah dan sayuran daun, mempercepat pematangan buah selama penanganan pasca panen dan penyimpanan, serta mempersingkat masa simpan dan mempengaruhi kualitas buah, bunga, dan sayur setelah panen (Santoso dan Purwoko, 1995).
Keberadaan etilen dalam lingkungan sekitar produk hortikultura harus diikat atau diubah menjadi bentuk yang tidak aktif agar kerusakan produk dapat ditekan sekecil mungkin (Sjaifullah dan Dondy, 1991). Menurut Scott 1965, pemasakan buah dapat ditunda dengan menggunakan beberapa macam bahan kimia, salah satunya adalah kalium permanganat (KMnO4). Etilen dapat dioksidasi oleh KMnO4 dan diubah dalam bentuk etilenglikol dan mangan oksida (Ables, 1973). Reaksi yang terjadi dalam pembentukan etilen glikol dan mangan oksida dapt dilihat dalam persamaan berikut :
CH2 = CH2 + KMnO4                                     CH2OH + MnO2
Menurut Scott (1970), buah pisang yang dikemas dalam plastik polietilen yang ditambahkan KMnO4 kulitnya tetap berwarna hijau setelah 38 hari disimpan. Sedangkan Andreas (1984) mengemukakan, penggunaan bungkus plastik untuk penyimpanan buah pisang ambon dapat memperlambat proses pematangan buah pisang selama 14 hari dan penggunaan bungkus plastik ditambah KMnO4 untuk penyimpanan buah pisang dapat memperlambat proses pematangan buah pisang selama 18 hari. Penggunaan bungkus plastik maupun bungkus plastik ditambah KMnO4 tidak berpengaruh terhadap kenampakan dan rasa buah pisang bila dibandingkan dengan kontrol. Pantastico (1986) mengemukakan dalam hasil penelitiannya bahwa buah pisang yang diberi perlakuan KMnO4 mempunyai ketegaran yang lebih besar dibandingkan yang tidak diberi perlakuan.
Berdasarkan penelitian Sholihati (2004), kontak langsung antara KMnO4 dengan produk tidak dianjurkan karena bentuknya yang cair. Pengembangan terhadap penyerap bahan tersebut perlu ditingkatkan. Buah pisang raja bulu dapat ditunda kematangannya sampai 15 hari, lalu dapat dimatangkan dengan sempurna.
Bahan penyerap yang digunakan sebaiknya memiliki densitas yang redah, kapasitas penyerapan rendah, namun memiliki kapasitas retensi yang tinggi terhadap KMnO4 (Pantastico, 1986). Bahan yang ada disekitar kita dan dapat digunakan sebagai bahan penyerap KMnO4 antara lain arang aktif, batu apung, busa, cocopeat, lumpur kering, oasis, serbuk gergaji kayu, serutan gergaji kayu, dan zeolit.

























BAB 3
PEMBAHASAN
Bahan penyerap oasis mempunyai kelemahan terlalu basah dan tidak mudah dikeringkan, sehingga larutan KMnO4 dapat menempel pada kulit buah walaupun telah dibungkus dengan kain kasa. Serutan gergaji kayu tidak praktis dalam penggunaannya karena mempunyai bentuk dan ukuran yang tidak beraturan, sehingga sulit untuk dibagi kedalam jumlah yang seragam untuk setiap satuan percobaan. Batu apung memiliki bentuk yang tidak beraturan dan tajam, sehingga dapat melukai buah. Zeolit mempunyai daya serap paling rendah, sehingga untuk setiap satuan percobaan diperlukan jumlah bahan yang cukup banyak, sebesar 75 g. Hal ini dapat merugikan pada saat pengangkutan.
Perubahan warna dari hijau menjadi kuning penuh pada setiap satuan percobaan terjadi secara seragam. Buah pisang tetap berwarna hijau sampai pengamatan pada 14 HSP baik pada perlakuan ethylene-block komersial maupun zeolit. Buah yang tidak dikemas dalam kantong plastik menjadi matang empat hari setelah disimpan dan berwarna hitam pada pengamatan 7 HSP.
Plastik dapat menekan laju transpirasi dan respirasi. Proses transpirasi yang rendah menyebabkan kadar air pada kulit buah tetap terjaga, sehingga penurunan bobot kulit buah pisang dihambat. Respirasi yang rendah menghambat proses hidrolisis karbohidrat menjadi gula. Kandungan gula yang rendah dalam daging buah menyebabkan tekanan osmosis yang kecil, sehingga perpindahan air dari kulit buah ke daging buah tidak banyak.
Penggunaan larutan KMnO4 dalam berbagai bahan penyerap tidak berpengaruh nyata pada variabel susut bobot dan rasio daging dan kulit buah. Nilai susut bobot dan rasio daging dan kulit buah mengalami peningkatan dibandingkan dengan pengamatan sebelumnya. Susut bobot dan rasio daging dan kulit buah yang meningkat menunjukkan bahwa buah menggunakan cadangan makanannya untuk proses metabolisme.
Buah pisang dengan perlakuan kontrol dan oasis mulai busuk pada pengamatan 17 HSP, sedangkan perlakuan lain masih layak untuk dikonsumsi. Diduga bahan penyerap oasis tidak dapat melepaskan KMnO4 setelah 13 hari, sehingga buah lebih cepat busuk dibandingkan dengan perlakuan lain. Buah sisa pengamatan 17 HSP yang masih layak dikonsumsi dikeluarkan dari perlakuan dan disimpan pada suhu ruang untuk diamati lebih lanjut. Buah pisang dengan perlakuan arang aktif, batu apung, dan serutan gergaji kayu busuk setelah disimpan selama 6 hari. Nurhasanah (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa umur simpan pisang Raja Bulu mulai dari layak dikonsumsi sampai dengan pisang busuk sekitar 6 hari. Buah pisang dengan perlakuan ethylene-block komersial dan zeolit berlendir, berjamur dan tidak layak untuk dikonsumsi setelah disimpan selama 8 hari.
BAB 4
KESIMPULAN
Bahan penyerap KMnO4 dengan media zeolit secara nyata lebih baik dibandingkan dengan arang aktif, batu apung, oasis, serutan gergaji kayu dan kontrol, dalam penghambatan perubahan warna kulit buah, perubahan persentase susut bobot, perbandingan daging dan kulit buah, kelunakan buah. Penggunaan zeolit sebagai bahan penyerap larutan KMnO4 memberikan pengaruh yang sama dengan penggunaan ethylene-block komersial yang diproduksi oleh Ethylene Control, Inc., Selma, USA. Penggunaan zeolit dan ethylene-block komersial dapat memperpanjang umur simpan pisang raja bulu lebih lama dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Daya simpan buah dihitung mulai dari buah layak dikonsumsi sampai dengan buah busuk pada perlakuan arang aktif, batu apung dan serutan gergaji kayu berlangsung selama enam hari, sedangkan perlakuan zeolit dan ethylene-block komersial berlangsung selama delapan hari.


























DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2001. Departemen Pertanian. 2001. Zeolit untuk Pertanian. Lembar          Informasi Pertanian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat. Hal 2.

Anonim. 2007. Direktorat Tanaman Buah, Direktorat Jenderal Bina Produksi         Hortikultura,   Departemen Pertanian. http// www.hortikultura.go.id. Data          Produksi Buah buahan Indonesia. 12 April 2007.

Abeles, F. B. 1973. Ethylene in Plant Biology. Academic Press. New york. 302 p.

Andreas, S. 1984. Laporan Penelitian. Pengaruh Bungkus Plastik dan Kalium         Permanganat   pada Penyimpanan Buah Pisang. Fakultas Pertanian.        Universitas Jember. Hal 30.

Anggreayani, H. 2005. Pengaruh Pengendalian Pematangan Sistem Kemas             terhadap Kondisi Pisang (Musa paradisiaca L.) Varietas Mas pada Dua          Suhu Simpan. Skripsi. Departemen Budidaya Pertanian. Institut Pertanian         Bogor. Bogor. Hal 51.

Dadzie, B. K. And J. E.Orchard. 1997. Routine Post-Havest Screening of Banana/Plantain Hybrids : Criteria and Methods. International Plant Genetic Resources Institute. Netherlands. 75 p.

Hanafiah, K A. 2004. Rancangan Percobaan. Edisi ketiga. PT. Raja Grafindo         Persada. Jakarta. Hal 260.

John, P. And Marchal. 1995. Ripening of Biochemistry of the Fruit. p. 435 – 436. InS.Gowen (Ed.). Bananas and Plantains. Chapmann and Hall. London.

Kader, A. A. 1992. Postharvest biology and technology. p. 15-20 In A. A. Kader (Ed.). Postharvest Technology of Horticulture Crops. Agriculture and Natural Resources Publication, Univ. of California. Barkeley.

Laure, C. 2001. Postharvest Quality of Conventional and Organically Grown         Banana Fruit.  Master of Science by Research in Postharvest Technology.        Institute of Agriculture of Agritechnology.Cranfield University.Silsoe.            160p.
Lisda. 2006. Proses Pematangan Buah Pisang Tanduk (Musa paradisiaca var                     typica) Pada    Dua Tahap Petik dalam Dua Suhu Simpan. Skripsi.         Departemen Budidaya Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.hal 41.

Lizada, M. C. C., Er. B. Pantastico, A. R. Abd. Shukor and S. D. Sabari. 1990.     Ripening of Banana, p. 65 – 84. In Hasan, A. and Er. B. Pantastico (Eds.).     Banana, Fruit Development, Poastharvest Physiology, Handling and            Marketing in ASEAN. ASEAN Food Handling Bureau, Malaysia.

Mattjik, A. A dan I. M. Sumertajaya. 2002. Perancangan Percobaan Dengan          Aplikasi SAS  dan Minitab. Jurusan Statistika FMIPA IPB. Bogor.          Hal 281.

Mitchell, F. G. 1992. Preparation for fresh market, p : 31-34. In A. A.Kader           (Ed.).Postharvest Technology of Horticultural Crops. University of      California Division of Agricultureal and Natural Resources. Okland,            California.

Nugraheni, A. 2006. Pengaruh Wadah Kemas dan Bahan Pengisi Terhadap Mutu Buah    Pisang Raja Bulu (Musa “AAB” Raja Bulu). Skripsi. Departemen       Budidaya Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. hal 34.

Nurhasanah. 2006. Survei Kondisi dan Daya Simpan Pisang (Musa paradisiaca      L). Kultivar Raja Bulu di Pasar Induk Kramat Jati dan Sekitar Bogor.            Skripsi. Departemen Budidaya Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.             Hal 34.

Pantastico. Er. B., A. K. Mattoo., dan C. T. Phan. 1986. Peran etilena dalam          pemasakan,hal 120-135. Dalam Pantastico, Er. B (Ed.). Fisiologi Pasca          Panen, Penanganan dan Pemanfaatan Buah-buahan Tropika dan Sub            Tropika. Gajah Mada  University Press. Yogyakarta.

PKBT. 2005. Pisang Raja Bulu dan Tanduk. IPB, Bogor.

Riskomar, Dedi. 2005. www.kompas.com. Ekspor buah Indonesia ditolak masuk               Eropa.  Kompas, 30 Maret 2005.

Robinson, J. C. 1999. Bananas and Plantains. CABI Publishing. New York. 238 p.

Samson, J. A.1980. Tropical Fruits. Longman Inc.New York. 250 p.
Santoso, B dan B. S. Purwoko. 1995. Fisiologi dan Teknologi Pasca           PanenTanaman Hortikultura Indonesia. Indonesia Australia Easteren  Universities Project. Hal 187.

Satuhu,S dan A. Supriyadi, 2000. Pisang. : Budidaya, Pengelolaan dan Prospek     Pasar. Penebar Swadaya. Jakarta. hal 84.

Sholihati. 2004. Kajian Penggunaan Bahan Penyerap Etilen Kalium Permanganat   untuk memperpanjang Umur Simpan Pisang raja (Musa paradisiaca           var.sapientum L.). Tesis. Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor. Hal 117 .

Sjaifullah dan Dony A. S. B. 1991. Formulasi penggunaan kalium permanganate    dan bahan penyerapnya untuk Pembuatan pellet pengikat etilen J.Hort         (3):23- 26.

Solikhin, M. A. 2004. Perlakuan Kemasan Plastik dan Air Hangat terhadap            Kondisi Buah Pisang (Musa paradisiacal L.) varietas Raja Bulu pada Dua Suhu Simpan. Skripsi. Departemen Budidaya Pertanian. Institut Pertanian                     Bogor. Bogor. Hal 55.

Thompson, A. K. and O. J. Burden. 1995. Harvesting and fruit. P. 424-427. In S. Gowen. (Ed.) Bananas and Planains. Chapmann & Hall. London.

Turner, D. W. 1997. Banana and plantain. p.47-77. In S. K. Mitra (Ed).      Postharvest Physiology and Storage of Tropical and Subtropical Fruits.          CAB International,Walling Ford. UK

Tursiska, S. 2007. Pengaruh Suhu Simpan dan Lama Simpan terhadap Mutu Buah             Pisang Raja Bulu Setelah Pemeraman. Skripsi. Departemen Teknik       Pertanian. Institut       Pertanian Bogor. Bogor. Hal 49.

Verheij, E. W. M. 1997. Musa L., hal. 285-296. Dalam E. W. M. Verheij dan R.     E. Coronel (Eds.). Sumber Daya Nabati Asia Tenggara 2: Buah-buahan           yang Dapat Dimakan  (Terjemahan dari Plant Resources of South-East            Asia 2: Edible Fruit and Nuts). PT     Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Wills, R. B. H., T. H. Lee, W. B. Mc Glasson and D. Graham. 1989. Postharvest, and Introduction to the Physiology and Handling Fruit and Vegetables. Van Nostand. New York. 150 p.
Winarno. F. G. dan M. Aman. 1981. Fisiologi Lepas Panen. Sastra Hudaya.           Jakarta. Hal 97.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar