BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Pisang merupakan salah satu buah unggulan Indonesia. Data Departeman
Pertanian tahun 2006 menunjukkan bahwa produksi buah pisang mencapai 5.03 juta
ton, dan volume ekspor mencapai 1.50 juta ton. Pisang
(Musa paradisiaca) telah ditetapkan menjadi salah satu komoditas buah
unggulan nasional disamping manggis, mangga, jeruk dan durian. Selain sebagai
komoditas unggulan, pisang juga merupakan jenis buah yang memberikan
konstribusi paling besar terhadap produksi buah-buahan nasional. Salah satu
jenis pisang yang mempunyai peluang ekspor adalah pisang raja. Selain mempunyai
nilai ekonomis tinggi, pisang raja mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi yaitu
setiap 100 gram mengandung 950 vitamin A, 10 gram vitamin C, dan 31,80 gram karbohidrat
(Anonim, 2007).
Pada tahun 1990-1997 pisang merupakan produk ekspor
buah Indonesia. Tujuan ekspor buah pisang Indonesia antara lain Jepang,
Hongkong, Singapura, dan Saudi Arabia. Jumlah ekspor pisang yang rendah
disebabkan oleh mutu buah yang tidak memenuhi standar mutu pisang dunia.
Terdapat dua parameter yang dijadikan standarisasi ekspor pisang, yaitu
spesifikasi dan mutu buah (Pantastico, 1986). Riskomar (2005) menyatakan, pada
bulan Januari tahun 2005, ekspor beberapa buah ditolak masuk wilayah Eropa.
Komoditi yang ditolak tersebut antara lain manggis, mangga, nanas dan pisang.
Alasan penolakan tersebut karena produk yang berasal dari Indonesia belum
memenuhi standar EUREPGAP (Euro Retailer
Produce Working Group and Good Agriculture Practice). Walaupun nilai ekspor
ke wilayah Eropa tidak besar (sekitar 15 % dari seluruh total ekspor),
penolakan seperti ini dikhawatirkan akan menyebabkan pasar Indonesia ditempati
oleh negara lain. Parameter mutu pisang secara umum adalah bentuk yang
sempurna, kematangan yang seragam, warna kulit buah yang cerah, mulus,
kesagaran alami, daging buah tidak lembek, dan aroma serta rasa yang enak.
Salah satu cara untuk meningkatkan nilai
buah lokal dengan cara penanganan pasca panen yang tepat. Selama ini, perhatian
petani sangat kurang terhadap pentingnya penanganan pasca panen. Kehilangan
hasil pasca panen dapat mencapai 20 – 30 %. Kehilangan yang tinggi ini juga
disebabkan oleh letak sentra produksi yang berskala kecil dan tersebar serta
terbatasnya sarana pendukung seperti peralatan pasca panen dan jalan yang
rusak. Oleh karena itu, petani cenderung menyerahkan kegiatan pasca panen
kepada para tengkulak.
Buah pisang merupakan jaringan hidup yang tetap
melakukan perubahan fisiologi setelah panen. Buah tetap meneruskan
reaksi-reaksi metabolisme seperti pada saat masih melekat pada tanaman dengan
cara mengunakan cadangan makanan. Kehilangan cadangan makanan tersebut dapat
menyebabkan penurunan mutu.
Penanganan pasca panen yang tepat seharusnya dimulai
dari pemetikan sampai buah berada di tangan konsumen akhir. Penanganan pasca
panen dilakukan agar buah pisang tetap segar sampai ditangan konsumen. Buah
pisang termasuk buah klimakterik, yang ditunjukkan dengan kenaikan produksi CO2
dan etilen pada saat penuaan.
Pematangan buah pisang terjadi dalam
tiga tahap, yaitu tahap praklimakterik, tahap klimakterik, dan tahap senesence
atau buah telah lewat matang. Tahap praklimakterik adalah tahap dimana buah
masih dalam keadaan bebas etilen. Berakhirnya tahap praklimakterik berarti
dimulainya tahap klimakterik. Secara fisiologi, tahap klimakterik terlihat
dengan meningkatnya respirasi dan produksi etilen. Tahap ketiga yaitu tahap
senesence, dimana pada tahap ini metabolisme dan kualitas buah telah menurun
(John and Marchal, 1995).
Perlakuan pasca panen pisang dapat dilakukan dengan
cara menekan laju respirasi sehingga umur simpan dapat maksimal. Salah satu
cara yang disarankan adalah penggunaan bahan kimia KMnO4 (Kalium
Permanganat) untuk menangkap gas etilen Sholihati (2004).
Kontak langsung antara KMnO4 dengan produk
tidak dianjurkan, karena bentuk KMnO4 yang cair. Diperlukan bahan
penyerap KMnO4 agar dapat digunakan sebagai penyerap etilen. Bahan
yang dapat digunakan sebagai bahan penyerap KMnO4 antara lain zeolit,
arang aktif, batu apung, oasis, dan serutan gergaji kayu.
BAB 2
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Pisang Raja Bulu
Pisang termasuk tanaman monocotyledoneae
(berkeping satu) dan masuk pada famili Musaseae, ordo Zingiberales.
Famili ini memiliki dua genus Musa dan Entese. Semua kultivar
yang dapat dimakan dikelompokkan ke dalam genus Musa. Sedangkan yang
dimanfaatkan sebagai bahan penghasil serat, tepung, dan sebagai sayuran yang
dimasak dikelompokkan ke dalam genus Entese. Berdasarkan golongan yang
dapat dimakan, pisang dibagi menjadi dua jenis. Jenis pisang yang pertama
adalah pisang yang dimakan buahnya tanpa dimasak (banana) sering juga disebut
sebagai buah meja, terdiri dari Musa paradisiaca var. Sapientum, dan Musa
nana atau Musa cavendis, atau disebut juga Musa sinensis.
Contoh dari jenis pisang ini adalah pisang ambon, susu, raja, cavendish,
barangan dan mas. Jenis pisang yang kedua adalah pisang yang dimakan setelah
buahnya dimasak (plantain) yaitu Musa paradisiaca forma typica
atau disebut juga Musa paradisiaca normalis. Contohnya pisang nangka,
tanduk dan kepok (Samson, 1980).
Pisang raja bulu merupakan pisang yang
dapat langsung dimakan tanpa dimasak. Tetapi sering juga dimasak sebagai kolak
atau pengisi kue. Buah pisang tersusun dalam bentuk sisir atau tangan pada
suatu batang yang secara kolektif disebut tandan. Pisang raja bulu merupakan
salah satu jenis pisang raja yang ukurannya sedang dan gemuk. Bentuk buahnya
melengkung dengan pangkal buah agak bulat. Warna kulit buah kuning
berbintik-bintik coklat, warna daging putih kemerahan dan sangat manis,
berstruktur lunak dan tidak berbiji. Panjang buah antara 12 – 18 cm dengan
bobot rata-rata 110 – 120 g. Setiap pohon biasanya dapat menghasilkan rata-rata
90 buah. Bobot rata-rata tandan sekitar 7 - 10 kg, berisi sekitar 6 - 7 sisir (Satuhu dan Supriyadi, 2000).
Pembentukan buah meliputi tiga tahap fisiologi setelah tahap inisiasi, yaitu
pertumbuhan, pendewasaan, dan pematangan. Pertumbuhan berkaitan dengan
pembelahan dan pembesaran sel sampai ukuran maksimal. Pendewasaan buah dimulai
sebelum pertumbuhan berakhir sampai terjadi aktifitas fisiologi yang nyata.
Pematangan terjadi pada akhir pendewasaan sampai buah mengalami senesence
(kemunduran) dan akhirnya mengalami pembusukan (Wills,1989).
Buah pisang yang dimakan umumnya buah pertenokarpi,
yaitu buah yang berkembang tanpa terjadinya penyerbukan. Daging buah yang
dimakan berkembang dari dinding ovari. Pertumbuhan buah biasanya dimulai dari
perbanyakan sel, hingga menjadi organ penimbun pangan yang membesar, karena
zat-zat makanan bergerak dari bagian source ke bagian ini. Komposisi zat
yang ditimbun tergantung pada jenis pisang. Umumnya, zat yang ditimbun
berbentuk karbohidrat. Selama perkembangan terjadi perubahan komposisi zat
tersebut, yaitu perubahan pati menjadi gula (Verheij, 1991).
Tanaman pisang umumnya dipanen pada umur
12 - 15 bulan atau 4 - 6 bulan setelah tanaman berbunga. Pemanenan buah pisang
dilakukan sesuai tujuan yang ingin dicapai. Buah pisang yang akan dipasarkan di
daerah yang berdekatan dengan daerah produksi umumnya dipanen pada stadia tua
(dewasa) penuh. Sedangkan buah pisang yang akan dipasarkan di lokasi yang jauh
dari pertanaman pisang umumnya dipanen pada stadia tingkat ketuaan (dewasa)
buah tiga perempat penuh. Buah yang sudah mencapai stadia ketuaan (dewasa)
penuh ditandai dengan bentuk lingir (bagian tepi buah) yang tidak kelihatan
lagi dan buah kadang-kadang pecah. Umumnya dalam satu tandan terdapat 1 - 2
buah yang berwarna kuning. Sedangkan buah pada stadia tingkat ketuaan (dewasa) tiga
perempat penuh ditandai dengan lingir buah yang masih terlihat jelas. Pemanenan
dilakukan dengan memotong 1/2 - 1/3 bagian batang dengan tujuan batang menjadi
rebah ke bawah dan tandan dapat dengan mudah dipanen. Dalam pemanenan
diusahakan buah pisang tidak terluka atau memar. Pisang yang baru dipanen harus
dilindungi dari penyinaran matahari secara langsung. Selanjutnya tandan
disisir. Buah selanjutnya dicuci dan diberi perlakuan fungisida untuk mencegah
buah terserang penyakit selama penyimpanan (Satuhu dan Supriyadi, 2000).
2.2 Fisiologi Pasca Panen
Komoditi hortikultura secara umum tetap mengalami
metabolisme walaupun telah dipanen. Setelah dipanen, energi yang dibutuhkan
untuk melakukan metabolisme diambil dari cadangan pangan dan air yang terdapat
pada komoditi tersebut. Kehilangan ini menyebabkan kerusakan. Kerusakan ini
umumnya berbanding lurus dengan laju respirasi (Santoso dan Purwoko, 1995).
Respirasi dikelompokkan dalam tiga tingkatan, yaitu:
1). Pemecahan polisakarida menjadi gula sederhana,
2). Oksidasi gula menjadi asam piruvat,
3). Transportasi piruvat dan asam-asam organik secara
aerobik menjadi
CO2, air dan energi.
Protein dan lemak dapat pula berperan sebagai substrat
dalam proses pemecahan polisakarida (Pantastico, 1986).
Proses reaksi
kimia sederhana dari respirasi dapat dinyatakan :
C6H12O6
+ 6 O2 6
CO2 + 6H2O + 673 kcal
Laju respirasi merupakan petunjuk yang baik untuk daya
simpan pasca panen. Intensitas respirasi dianggap sebagai ukuran laju jalannya
metabolisme sehingga sering dianggap sebagai petunjuk mengenai daya simpan buah
(Pantastico, 1986). Kecepatan respirasi yang tinggi berhubungan dengan umur
simpan yang pendek.
Menurut Kader (1992), jenis buah menurut tingkat laju
respirasi setelah dipetik dibagi menjadi dua, yaitu buah klimakterik dan buah
non klimakterik. Buah klimakterik ditunjukkan dengan kenaikan produksi CO2
dan etilen yang besar pada saat penuaan. Sedangkan buah non klimakterik
ditunjukkan dengan tidak adanya perubahan dari CO2 yang rendah dan
produksi etilen saat penuaan. Contoh buah klimakterik yaitu apel, alpukat,
pisang, mangga, pepaya, melon dan semangka, sedangkan buah non klimakterik contohnya
anggur, jeruk dan nanas. Selama
proses pematangan, buah klimakterik menghasilkan lebih banyak etilen endogen
dari pada buah nonklimakterik. Selama proses pematangan, terjadi
berbagai perubahan baik secara fisik maupun secara kimia. Perubahan secara
fisik antara lain adalah perubahan warna, perubahan tekstur, susut bobot, layu
dan keriput yang menyebabkan turunnya mutu buah (Santoso dan Purwoko, 1995).
Perubahan warna merupakan petunjuk yang
paling mudah bagi konsumen untuk memilih buah matang. Warna juga menjadi faktor
utama daya tarik konsumen terhadap buah. Lizada (1990) menyatakan bahwa tahapan
kematangan beberapa kultivar buah pisang di ASEAN berdasarkan pada derajat
kekuningan warna kulit buah. Tanda pematangan pertama untuk kebanyakan buah
adalah hilangnya warna hijau karena terdegradasinya klorofil. Pantastico (1986)
menyatakan warna kuning kulit pisang disebabkan proses pecahnya klorofil oleh
klorofilase sehingga kandungan klorofil menurun dengan lambat selama proses
pematangan. Umumnya jumlah pigmen hijau tertentu tersisa pada buah pisang di
dalam jaringan internal.
Wills
(1989) menyatakan terdegradasinya pigmen klorofil menyebabkan warna dari
pigmen-pigmen lain (anthosianin, xantofil dan karoten) muncul. Pantastico
(1986) menyatakan kehilangan klorofil mengakibatkan pigmen karotenoid yang
tidak bersintesis menjadi terlihat selama pematangan. Karotenoid yang ada dalam
kulit pisang terdiri dari α- carotenoid dan β-caroten. Kandungan klorofil dalam
buah pisang bervariasi tergantung pada kematangan sedangkan kandungan
karotenoid tetap jumlahnya.
Kehilangan
air oleh proses respirasi dan transpirasi pada buah berpengaruh secara
kualitatif maupun kuantitatif pada umur simpan buah. Pengaruh secara
kuantitatif yaitu susut bobot. Susut bobot buah semakin meningkat dengan
bertambahnya waktu penyimpanan. Pengaruh secara kualitatif adalah penampilan
buah yang menurun karena layu, perubahan tekstur buah yang menjadi lunak,
hilangnya kerenyahan dan kandungan air (Kader, 1992).
Selama proses pertumbuhan dan
perkembangan buah, bobot masing-masing buah terus bertambah. Bobot daging buah
pada permulaan perkembangan buah sangat rendah dan semakin bertambah ketika
matang, sedangkan bobot kulit buah sebaliknya. Proses transpirasi menyebabkan
kadar air pada kulit buah lebih cepat berkurang sehingga mengakibatkan semakin
turunnya bobot kulit buah pisang. Kandungan gula dalam daging buah selama
pematangan meningkat dengan cepat sehingga tekanan osmotik meningkat dan daging
buah menyerap air dari kulit, menyebabkan perubahan perbandingan daging buah
dan kulitnya (Pantastico, 1986). Semakin matang buah, rasio daging dan kulitnya
semakin tinggi, karena kulit buah semakin tua semakin tipis dan keriput.
Menurut
Thompson and Burden (1995) perubahan tekstur (kelunakan) pada saat pematangan
dihubungkan dengan dua atau tiga proses. Pertama proses penguraian pati menjadi
gula, kedua pemecahan dinding sel yang diakibatkan perombakan protopektin yang
larut air dan terakhir adalah perombakan selulosa. Perubahan senyawa-senyawa
ini selama pematangan sangat berpengaruh terhadap kekerasan buah, yang
menyebabkan buah menjadi lunak. Perubahan kimia yang terjadi selama proses pematangan
antara lain menurunnya kandungan pati, meningkatnya kadar gula dan menurunnya
kandungan asam organik. Pematangan biasanya meningkatkan jumlah gula sederhana
yang memberi rasa manis, penurunan asam-asam organik yang mengurangi rasa asam
dari senyawa fenolik yang mengurangi rasa sepat, serta kenaikan zat-zat atsiri
yang memberi aroma khas pada buah. Kandungan gula pada daging buah pisang
mentah sekitar 1 – 2 %, dan meningkat menjadi 15 – 20 % saat buah matang,
sedangkan kandungan pati sebesar 20 % saat buah pisang mentah dan turun menjadi
1 – 2 % saat buah masak (Pantastico, 1986).
Asam-asam organik merupakan salah satu
komponen utama penyusun sel yang mengalami perubahan selama pematangan buah.
Umumnya kandungan asam organik menurun selama pematangan karena respirasi atau
diubah menjadi gula. Taraf asam tertinggi pada buah pisang dicapai pada stadia
matang penuh. Kandungan asam pada buah pisang sedikit menurun selama
pematangan, dengan asam malat sabagai komponen utama dalam kandungan asam
organik buah (Pantastico, 1986).
2.3 Umur Simpan Buah Pisang
Turner
(1997) menyebutkan, biokimia dari pematangan buah pisang dipengaruhi oleh
konsentrasi biosintesis etilen dan metabolisme karbohidrat perubahan warna,
dinding sel, senyawa fenolik, asam, lemak dan juga senyawa volatil juga berubah
selama pematangan. Berdasarkan sifat klimakeriknya, proses klimakteri dalam
buah dapat dibagi dalam empat fase, yaitu :
1. Fase
praklimakterik (pre-climacteric) yaitu saat buah masih hijau dan
keras serta CO2 yang
dibebaskan masih sedikit.
2. Fase
klimakterik meningkat (climacteric rise) yaitu terjadi peningkatan
produksi CO2 secara cepat tetapi buah masih hijau.
3. Fase
puncak klimakterik (climacteric peak) yaitu produksi CO2
mencapai maksimum, terjadi perubahan warna kulit, pelunakan dan mulai
menimbulkan aroma.
4. Fase
pasca klimakterik (post climacteric) yaitu produksi CO2
menurun, terjadi perubahan warna kulit yang menarik, buah menjadi lunak dan
beraroma tajam.
Pada
saat ini buah mencapai tingkat kematangan yang sempurna. John and Marchal
(1995) menggunakan standar warna kematangan buah pisang untuk menentukan perubahan
fase klimakterik. Tahap klimakterik dimulai ketika warna kulit buah memasuki
skor 4 – 6. Jika skor warna sama dengan 7, maka buah pisang telah memasuki
tahap senesence. Pada tahap ini, metabolisme dan kualitas buah telah
menurun.
Buah pisang yang dipanen dan dikonsumsi
dalam keadaan segar harus memenuhi kriteria kualitas. Konsumen biasanya
memperhatikan nilai kualitas buah berdasarkan penampilan, tekstur (kekerasan
dan kelembutan), rasa dan aroma, zat gizi (karbohidrat, lemak, protein, vitamin
dan mineral) dan tingkat keamanan yaitu kandungan senyawa toksik dan mikroba
(Kader, 1992).
Standar
kematangan pisang John and Marchal (1995).
Menurut Nuhasanah (2006),
umur simpan pisang raja bulu dari beberapa daerah relatif sama, yaitu 6 hari.
Umur simpan dipengaruhi oleh kerusakan buah selama pengangkutan.
2.4 Usaha Memperpanjang Umur Simpan
Pematangan
buah merupakan suatu variasi dari proses penuaan yang melibatkan konversi pati
atau asam-asam organik menjadi gula, pelunakan dinding-dinding sel, atau
perusakan membran sel yang berakibat pada hilangnya cairan sel sehingga
jaringan mengering. Pada tiap-tiap kasus, pematangan buah dirangsang oleh gas
etilen yang berdifusi ke dalam ruang-ruang antarsel buah (Abeles, 1973).
Menurut Winarno dan Aman (1981) etilen adalah senyawa hidrokarbon tidak jenuh
yang pada suhu kamar berbentuk gas. Etilen dapat dihasilkan oleh jaringan
tanaman hidup pada waktu-waktu tertentu. Senyawa ini menyebabkan
perubahan-perubahan penting dalam proses pertumbuhan dan pematangan hasil-hasil
pertanian.
Etilen (C2H4) diproduksi dari
methionin melalui jalur yang termasuk zat antara S-adenosyl-methionine (SAM)
dan 1- amino –cyclopropane- 1 carboxylic acid (ACC). Pembentukan etilen dari
ACC dipengaruhi oleh enzim EFE (Ethylene Forming Enzime). Etilen bekerja dengan cara menempel pada tempat mengikat (binding
site), kemudian menstimulasi pembawa pesan kedua (second messenger)
yang menginstruksikan DNA inti umtuk membuat mRNA yang spesifik untuk efek
etilen. Molekul mRNA ditranslasikan menjadi protein oleh ribosoma. Protein yang
terbentuk ialah enzim yang menyebabkan respon sebenarnya dari etilen (Kader,
1992). Etilen memegang peranan penting dalam fisiologi pasca panen produk
hortikultura. Etilen akan menguntungkan ketika meningkatkan kualitas buah dan
sayuran melalui percepatan dan penyeragaman pematangan sebelum dipasarkan, namun
etilen memberikan efek yang merugikan dengan meningkatkan laju senesence.
Etilen dapat menghilangkan warna hijau pada buah mentah dan sayuran daun,
mempercepat pematangan buah selama penanganan pasca panen dan penyimpanan,
serta mempersingkat masa simpan dan mempengaruhi kualitas buah, bunga, dan
sayur setelah panen (Santoso dan Purwoko, 1995).
Keberadaan etilen dalam lingkungan sekitar produk hortikultura
harus diikat atau diubah menjadi bentuk yang tidak aktif agar kerusakan produk
dapat ditekan sekecil mungkin (Sjaifullah dan Dondy, 1991). Menurut Scott 1965,
pemasakan buah dapat ditunda dengan menggunakan beberapa macam bahan kimia,
salah satunya adalah kalium permanganat (KMnO4). Etilen dapat
dioksidasi oleh KMnO4 dan diubah dalam bentuk etilenglikol dan
mangan oksida (Ables, 1973). Reaksi yang terjadi dalam pembentukan etilen
glikol dan mangan oksida dapt dilihat dalam persamaan berikut :
CH2
= CH2 + KMnO4 CH2OH
+ MnO2
Menurut Scott (1970), buah pisang yang dikemas dalam
plastik polietilen yang ditambahkan KMnO4 kulitnya tetap berwarna hijau setelah
38 hari disimpan. Sedangkan Andreas (1984) mengemukakan, penggunaan bungkus
plastik untuk penyimpanan buah pisang ambon dapat memperlambat proses
pematangan buah pisang selama 14 hari dan penggunaan bungkus plastik ditambah
KMnO4 untuk penyimpanan buah pisang dapat memperlambat proses
pematangan buah pisang selama 18 hari. Penggunaan bungkus plastik maupun
bungkus plastik ditambah KMnO4 tidak berpengaruh terhadap kenampakan
dan rasa buah pisang bila dibandingkan dengan kontrol. Pantastico (1986)
mengemukakan dalam hasil penelitiannya bahwa buah pisang yang diberi perlakuan
KMnO4 mempunyai ketegaran yang lebih besar dibandingkan yang tidak
diberi perlakuan.
Berdasarkan
penelitian Sholihati (2004), kontak langsung antara KMnO4 dengan produk tidak
dianjurkan karena bentuknya yang cair. Pengembangan terhadap penyerap bahan
tersebut perlu ditingkatkan. Buah pisang raja
bulu dapat ditunda kematangannya sampai 15 hari, lalu dapat dimatangkan dengan
sempurna.
Bahan penyerap yang digunakan sebaiknya
memiliki densitas yang redah, kapasitas penyerapan rendah, namun memiliki
kapasitas retensi yang tinggi terhadap KMnO4 (Pantastico, 1986).
Bahan yang ada disekitar kita dan dapat digunakan sebagai bahan penyerap KMnO4
antara lain arang aktif, batu apung, busa, cocopeat, lumpur kering,
oasis, serbuk gergaji kayu, serutan gergaji kayu, dan zeolit.
BAB 3
PEMBAHASAN
Bahan penyerap oasis mempunyai kelemahan
terlalu basah dan tidak mudah dikeringkan, sehingga larutan KMnO4 dapat
menempel pada kulit buah walaupun telah dibungkus dengan kain kasa. Serutan
gergaji kayu tidak praktis dalam penggunaannya karena mempunyai bentuk dan
ukuran yang tidak beraturan, sehingga sulit untuk dibagi kedalam jumlah yang
seragam untuk setiap satuan percobaan. Batu apung memiliki bentuk yang tidak
beraturan dan tajam, sehingga dapat melukai buah. Zeolit mempunyai daya serap
paling rendah, sehingga untuk setiap satuan percobaan diperlukan jumlah bahan
yang cukup banyak, sebesar 75 g. Hal ini dapat merugikan pada saat
pengangkutan.
Perubahan warna dari hijau menjadi
kuning penuh pada setiap satuan percobaan terjadi secara seragam. Buah pisang
tetap berwarna hijau sampai pengamatan pada 14 HSP baik pada perlakuan ethylene-block
komersial maupun zeolit. Buah yang tidak dikemas dalam kantong plastik
menjadi matang empat hari setelah disimpan dan berwarna hitam pada pengamatan 7
HSP.
Plastik dapat menekan laju transpirasi
dan respirasi. Proses transpirasi yang rendah menyebabkan kadar air pada kulit
buah tetap terjaga, sehingga penurunan bobot kulit buah pisang dihambat.
Respirasi yang rendah menghambat proses hidrolisis karbohidrat menjadi gula.
Kandungan gula yang rendah dalam daging buah menyebabkan tekanan osmosis yang
kecil, sehingga perpindahan air dari kulit buah ke daging buah tidak banyak.
Penggunaan larutan KMnO4 dalam berbagai
bahan penyerap tidak berpengaruh nyata pada variabel susut bobot dan rasio
daging dan kulit buah. Nilai susut bobot dan rasio daging dan kulit buah
mengalami peningkatan dibandingkan dengan pengamatan sebelumnya. Susut bobot dan
rasio daging dan kulit buah yang meningkat menunjukkan bahwa buah menggunakan
cadangan makanannya untuk proses metabolisme.
Buah pisang dengan perlakuan kontrol dan
oasis mulai busuk pada pengamatan 17 HSP, sedangkan perlakuan lain masih layak
untuk dikonsumsi. Diduga bahan penyerap oasis tidak dapat melepaskan KMnO4
setelah 13 hari, sehingga buah lebih cepat busuk dibandingkan dengan perlakuan
lain. Buah sisa pengamatan 17 HSP yang masih layak dikonsumsi dikeluarkan dari
perlakuan dan disimpan pada suhu ruang untuk diamati lebih lanjut. Buah pisang
dengan perlakuan arang aktif, batu apung, dan serutan gergaji kayu busuk
setelah disimpan selama 6 hari. Nurhasanah (2006) dalam penelitiannya
menyatakan bahwa umur simpan pisang Raja Bulu mulai dari layak dikonsumsi
sampai dengan pisang busuk sekitar 6 hari. Buah pisang dengan perlakuan ethylene-block
komersial dan zeolit berlendir, berjamur dan tidak layak untuk dikonsumsi
setelah disimpan selama 8 hari.
BAB 4
KESIMPULAN
Bahan penyerap KMnO4 dengan
media zeolit secara nyata lebih baik dibandingkan dengan arang aktif, batu
apung, oasis, serutan gergaji kayu dan kontrol, dalam penghambatan perubahan
warna kulit buah, perubahan persentase susut bobot, perbandingan daging dan
kulit buah, kelunakan buah. Penggunaan zeolit sebagai bahan penyerap larutan
KMnO4 memberikan pengaruh yang sama dengan penggunaan ethylene-block
komersial yang diproduksi oleh Ethylene Control, Inc., Selma, USA.
Penggunaan zeolit dan ethylene-block komersial dapat memperpanjang umur
simpan pisang raja bulu lebih lama dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Daya
simpan buah dihitung mulai dari buah layak dikonsumsi sampai dengan buah busuk
pada perlakuan arang aktif, batu apung dan serutan gergaji kayu berlangsung
selama enam hari, sedangkan perlakuan zeolit dan ethylene-block komersial
berlangsung selama delapan hari.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim.
2001. Departemen Pertanian. 2001. Zeolit untuk Pertanian. Lembar Informasi Pertanian Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Jawa Barat. Hal 2.
Anonim.
2007. Direktorat Tanaman Buah, Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura, Departemen Pertanian. http// www.hortikultura.go.id. Data Produksi Buah buahan Indonesia. 12
April 2007.
Abeles,
F. B. 1973. Ethylene in Plant Biology. Academic Press. New york. 302 p.
Andreas, S.
1984. Laporan Penelitian. Pengaruh Bungkus Plastik dan Kalium Permanganat pada Penyimpanan Buah Pisang. Fakultas Pertanian. Universitas Jember. Hal 30.
Anggreayani,
H. 2005. Pengaruh Pengendalian Pematangan Sistem Kemas terhadap Kondisi Pisang (Musa paradisiaca L.) Varietas
Mas pada Dua Suhu Simpan.
Skripsi. Departemen Budidaya Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal 51.
Dadzie, B.
K. And J. E.Orchard. 1997. Routine Post-Havest Screening of Banana/Plantain Hybrids : Criteria and Methods.
International Plant Genetic Resources Institute.
Netherlands. 75 p.
Hanafiah, K
A. 2004. Rancangan Percobaan. Edisi ketiga. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hal 260.
John, P. And
Marchal. 1995. Ripening of Biochemistry of the Fruit. p. 435 – 436. InS.Gowen (Ed.). Bananas and Plantains.
Chapmann and Hall. London.
Kader, A. A.
1992. Postharvest biology and technology. p. 15-20 In A. A. Kader (Ed.). Postharvest
Technology of Horticulture Crops. Agriculture and Natural Resources
Publication, Univ. of California. Barkeley.
Laure, C.
2001. Postharvest Quality of Conventional and Organically Grown Banana Fruit. Master of Science by Research in Postharvest Technology. Institute of Agriculture of Agritechnology.Cranfield
University.Silsoe. 160p.
Lisda. 2006.
Proses Pematangan Buah Pisang Tanduk (Musa
paradisiaca var typica)
Pada Dua Tahap Petik dalam Dua Suhu Simpan.
Skripsi. Departemen Budidaya
Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.hal 41.
Lizada, M.
C. C., Er. B. Pantastico, A. R. Abd. Shukor and S. D. Sabari. 1990. Ripening of Banana, p. 65 – 84. In Hasan, A.
and Er. B. Pantastico (Eds.). Banana, Fruit
Development, Poastharvest Physiology, Handling and Marketing in ASEAN. ASEAN Food Handling Bureau, Malaysia.
Mattjik, A.
A dan I. M. Sumertajaya. 2002. Perancangan Percobaan Dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Jurusan Statistika FMIPA IPB. Bogor. Hal 281.
Mitchell, F.
G. 1992. Preparation for fresh market, p : 31-34. In A. A.Kader (Ed.).Postharvest Technology of
Horticultural Crops. University of California
Division of Agricultureal and Natural
Resources. Okland, California.
Nugraheni,
A. 2006. Pengaruh Wadah Kemas dan Bahan Pengisi Terhadap Mutu Buah Pisang
Raja Bulu (Musa “AAB” Raja Bulu). Skripsi. Departemen Budidaya Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. hal 34.
Nurhasanah.
2006. Survei Kondisi dan Daya Simpan Pisang (Musa paradisiaca L). Kultivar Raja Bulu di Pasar Induk
Kramat Jati dan Sekitar Bogor. Skripsi.
Departemen Budidaya Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal 34.
Pantastico.
Er. B., A. K. Mattoo., dan C. T. Phan. 1986. Peran etilena dalam pemasakan,hal 120-135. Dalam
Pantastico, Er. B (Ed.). Fisiologi Pasca Panen, Penanganan dan Pemanfaatan Buah-buahan Tropika
dan Sub Tropika. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
PKBT. 2005.
Pisang Raja Bulu dan Tanduk. IPB, Bogor.
Riskomar,
Dedi. 2005. www.kompas.com. Ekspor buah Indonesia ditolak masuk Eropa. Kompas, 30 Maret 2005.
Robinson, J.
C. 1999. Bananas and Plantains. CABI Publishing. New York. 238 p.
Samson, J.
A.1980. Tropical Fruits. Longman Inc.New York. 250 p.
Santoso, B
dan B. S. Purwoko. 1995. Fisiologi dan Teknologi Pasca PanenTanaman Hortikultura Indonesia. Indonesia Australia
Easteren Universities Project. Hal 187.
Satuhu,S dan
A. Supriyadi, 2000. Pisang. : Budidaya, Pengelolaan dan Prospek Pasar. Penebar Swadaya. Jakarta. hal 84.
Sholihati.
2004. Kajian Penggunaan Bahan Penyerap Etilen Kalium Permanganat untuk memperpanjang Umur Simpan Pisang raja (Musa paradisiaca var.sapientum L.). Tesis. Sekolah Pasca Sarjana IPB,
Bogor. Hal 117 .
Sjaifullah
dan Dony A. S. B. 1991. Formulasi penggunaan kalium permanganate dan bahan penyerapnya untuk Pembuatan pellet
pengikat etilen J.Hort (3):23- 26.
Solikhin, M.
A. 2004. Perlakuan Kemasan Plastik dan Air Hangat terhadap Kondisi Buah Pisang (Musa
paradisiacal L.) varietas Raja Bulu pada Dua Suhu
Simpan. Skripsi. Departemen Budidaya Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal 55.
Thompson, A.
K. and O. J. Burden. 1995. Harvesting and fruit. P. 424-427. In S. Gowen. (Ed.) Bananas and Planains. Chapmann
& Hall. London.
Turner, D.
W. 1997. Banana and plantain. p.47-77. In S. K. Mitra (Ed). Postharvest Physiology and Storage of
Tropical and Subtropical Fruits. CAB
International,Walling Ford. UK
Tursiska, S.
2007. Pengaruh Suhu Simpan dan Lama Simpan terhadap Mutu Buah Pisang Raja Bulu Setelah Pemeraman.
Skripsi. Departemen Teknik Pertanian.
Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal
49.
Verheij, E.
W. M. 1997. Musa L., hal. 285-296. Dalam E. W. M. Verheij dan R. E. Coronel (Eds.). Sumber Daya Nabati Asia
Tenggara 2: Buah-buahan yang
Dapat Dimakan (Terjemahan dari Plant
Resources of South-East Asia 2:
Edible Fruit and Nuts). PT Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Wills, R. B.
H., T. H. Lee, W. B. Mc Glasson and D. Graham. 1989. Postharvest, and Introduction
to the Physiology and Handling Fruit and Vegetables. Van Nostand. New York. 150
p.
Winarno. F.
G. dan M. Aman. 1981. Fisiologi Lepas Panen. Sastra Hudaya. Jakarta. Hal 97.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar